“Bahkan di Jember, tembakaunya diproduksi dan diekspor untuk cerutu kelas dunia,” terang Ganjar.
Meski demikian, kesejahteraan petani tidak bisa terjamin karena kurangnya keberpihakan terhadapnya.
Petani memiliki daya tawar yang rendah. Ketika perusahaan telah mematok harga, maka mereka tidak memiliki bargaining.
Selain itu, kenaikan cukai memiliki dampak besar pada petani. Ketika cukai naik, perusahaan mengurangi serapan, hingga harga tembakau menjadi anjlok.
Ganjar Pranowo menerangkan bahwa dahulu pernah ada wacana mengubah komoditi tembakau menjadi kayu manis dan kopi.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Malu Kalau Bahas Capres di Musim Pandemi, Apalagi Sampai Pasang Baliho
Namun ternyata, impor tembakau dari luar negeri malah semakin banyak. Pada tahun 2015 impor tembakau mencapai 75 ribu ton.
Demikian di tahun-tahun berikutnya semakin meningkat. Dalam catatannya, laki-laki 53 tahun itu menyebut tahun 2018, impor tembakau mencapai 121 ribu ton.
Untuk itulah Ganjar Pranowo menyebut bahwa petani lokal tembakau Indonesia merasa hidup segan mati tak mau.***