MALANG TERKINI – Secara harfiah pengertian itikaf adalah ketekunan dengan sesuatu dan mengurung diri sendiri. Sedangkan dalam konteks syari’ah, itikaf mengandung makna tinggal di masjid untuk tujuan menyembah Allah SWT.
Itikaf adalah salah satu amalan yang paling baik dan bentuk ketaatan yang sangat baik kepada Allah SWT. Dikatakan dalam HR Bukhari bahwa Nabi Muhammad SAW biasa mengasingkan diri (di masjid) selama sepuluh hari terakhir Ramadhan sampai hari kematiannya.
Allah SWT berfirman: “... dan Aku perintahkan Ibrahim dan Ismail bahwa mereka harus menyucikan Rumah-Ku (Ka'abah di Makkah) bagi orang-orang yang mengelilinginya, atau mengasingkan (itikaf) atau ruku atau sujud (shalat)” (Al-Baqarah: 125).
Baca Juga: Update 2023! Ucapan Selamat Lebaran Idul Fitri Bahasa Inggris yang Puitis
Hukum itikaf
Dilansir Malang Terkini dari al-feqh, itikaf merupakan amalan yang dianjurkan dan tidak wajib, yang dapat dilakukan kapan saja. Namun, bentuk terbaik dari itikaf adalah yang dilakukan selama sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Syarat melakukan itikaf
1. Membuat niat
Dia yang melakukan itikaf harus membuat niat bahwa dia tinggal di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah agar lebih dekat dengan-Nya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad: “Sesungguhnya setiap perbuatan dinilai menurut niatnya.”
2. Bahwa masjid tempat itikaf adalah masjid tempat shalat jama'ah dilakukan
Baca Juga: Jumlah Provinsi di Indonesia Saat Ini: 38 Provinsi, Berikut Daftar dan Ibu Kota
Tidak boleh melakukannya kecuali di masjid; “Dan janganlah kamu berhubungan dengan mereka selama kamu beritikaf di masjid-masjid.” (Baqarah: 187)
3. Bersuci sebelum melakukan itikaf
Tidak diperbolehkan bagi seorang pria yang belum bersuci dari janabah (najis ritual), atau seorang wanita yang sedang mengalami pendarahan nifas atau menstruasi, untuk melakukan itikaf. Hal ini karena orang-orang dari dua kategori ini tidak diperbolehkan untuk tinggal di masjid, karena mereka sedang dalam keadaan tidak suci.
4. Puasa bukan syarat itikaf
Puasa tidak dianggap sebagai prasyarat untuk melakukan itikaf, karena Abdullah Ibn Umar melaporkan bahwa ayahnya, Umar, berkata kepada Nabi: Saya berjanji kepada Allah selama Jahiliyah (masa jahiliyah sebelum Islam) bahwa saya akan mengasingkan diri untuk malam di Masjidil Haram (di Makkah). Kemudian Nabi berkata: “Tepati janjimu.” (HR. Al-Bukhari).
Baca Juga: Profil Suri Cruise, Putri Tom Cruise yang Terpisah 11 Tahun dari Ayahnya Karena Ajaran ‘Scientology’
Jika puasa adalah prasyarat untuk itikaf, pengasingan di malam hari oleh Umar tidak akan sah. Selain itu, ditetapkan pula bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan itikaf pada sepuluh hari pertama bulan Syawal, di antaranya adalah hari Idul Fitri, ketika puasa dilarang.
Waktu itikaf
Diperbolehkan untuk melakukan itikaf setiap hari dan dalam atau untuk jangka waktu berapa pun, tetapi yang paling disukai adalah bahwa waktu itikaf tidak boleh dilakukan kurang dari satu hari atau satu malam penuh. Hal ini karena belum tercatat dari Nabi maupun dari para sahabatnya bahwa mereka melakukan itikaf untuk periode yang lebih sedikit dari itu.
Itikaf di 10 hari terakhir Ramadhan
Sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah periode terbaik untuk melakukan itikaf. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh 'Aishah, yang mengatakan: "Nabi Muhammad biasa mengasingkan diri untuk beribadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai Allah SWT mengambil jiwanya." (HR Bukhari)
Itikaf diakhiri dengan terbenamnya matahari di hari terakhir Ramadhan. Namun dianjurkan untuk menunda keluar masjid hingga dini hari Idul Fitri, karena hal ini tercatat banyak dipraktikkan oleh para pendahulu yang saleh.
Keutamaan itikaf
Tujuan atau keutamaan itikaf adalah untuk membebaskan pikiran dari semua urusan duniawi, dan untuk berkonsentrasi dan disibukkan dengan ibadah kepada Allah SWT saja. Oleh karena itu sangat penting bahwa seseorang yang melakukan itikaf harus membebaskan pikirannya dari semua urusan duniawi karena alasan ini.***