Percakapan Pilot di Black Box Lion Air JT 610 Pernah Bocor, Begini Isi Rekamannya

14 Januari 2021, 08:06 WIB
ilustrasi Pesawat /Pixabay/Free-Photos

MALANG TERKINI - Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ182 pada Sabtu, 9 Januari 2021 kemarin menambah daftar kecelakaan pesawat di Indonesia.

Pesawat yang dijadwalkan terbang dari Bandara Soekarno-Hatta tersebut tercatat membawa 62 orang yang terdiri dari 40 penumpang dewasa, 7 anak-anak, dan 3 bayi, ditambah 12 kru.

Pada Oktober 2018 lalu, pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610 jatuh sesaat setelah terbang dari Bandara Soekarno Hatta menuju Pangkal Pinang, pesawat jatuh di area perairan Karawang, Jawa Barat.

Baca Juga: Fakta-fakta Tentang Faisal Rahman, Youtuber Korban Pesawat Sriwijaya Air

Pesawat tersebut dikemudikan Kapten Pilot berkebangsaan India, Bhavye Suneja yang berusia 31 tahun. Sementara co-pilot adalah Harvino, warga negara Indonesia. Sebanyak 189 orang menjadi korban yang terdiri dari 179 penumpang dewasa, 1 penumpang anak, 2 bayi, 2 pilot, serta 5 kru.

Pencarian dan penyelamatan dilakukan oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) dibantu Angkatan Udara Republik Indonesia.

Isi percakapan terakhir cockpit voice recorder (CVR) dari kotak hitam atau black box antara pilot dan kopilot dikabarkan pernah bocor.

Seperti MalangTerkini.com kutip dari Pikiran Rakyat dalam artikel "Isi Rekaman Black Box Lion Air JT 610 Pernah Bocor, Begini Isi Percakapan Pilot"

Ini adalah pertama kalinya konten perekam suara dari penerbangan Lion Air dipublikasikan. Ketiga sumber membahasnya dengan syarat anonim.

Reuters sendiri menyebutkan tidak memiliki akses ke rekaman atau transkrip tersebut.

Investigasi ini dilakukan setelah otoritas penerbangan Amerika Serikat Federal Aviation Administration (FAA) dan regulator lain menghentikan operasional model pesawat Boeing tersebut pasca kecelakaan di Ethiopia pada 10 Maret 2019 lalu.

Investigasi yang memeriksa kecelakaan Lion Air JT 610 di Indonesia sedang mempertimbangkan bagaimana komputer memerintahkan pesawat untuk menukik sebagai respons terhadap data dari sensor yang salah dan apakah pilot memiliki pelatihan yang cukup untuk merespons keadaan darurat dengan tepat.

Menurut laporan awal yang dirilis pada November 2018, kapten pilot Lion Air memegang kendali penerbangan JT 610 ketika pesawat itu lepas landas dari Jakarta, sedangkan co-pilot pesawat bertugas menangani radio.

Hanya dua menit setelah penerbangan, petugas pertama melaporkan "masalah kontrol penerbangan" ke kontrol lalu lintas udara dan mengatakan pilot bermaksud untuk mempertahankan ketinggian 5.000 kaki, menurut laporan November 2018.

Baca Juga: Menhub Budi Karya jelaskan Kronologi Hilangnya Pesawat Sriwijaya Air SJY 182 Rute Jakarta-Pontianak

Petugas pertama tidak merinci masalahnya, tetapi satu sumber mengatakan kecepatan udara disebutkan pada rekaman suara kokpit, dan sumber kedua mengatakan indikator menunjukkan masalah pada tampilan kapten tetapi bukan pada petugas pertama.

"Kapten meminta petugas pertama untuk memeriksa buku pedoman referensi cepat, yang berisi daftar periksa untuk kejadian abnormal," kata sumber pertama Reuters.

Selama sembilan menit berikutnya, pesawat memperingatkan pilot ada keadaan stall dan mendorong hidung ke bawah sebagai tanggapan, laporan itu menunjukkan.

Kondisi stall adalah ketika aliran udara di atas sayap pesawat terlalu lemah untuk menghasilkan daya angkat dan membuatnya tetap terbang.

Dikatakan sumber itu, kapten berjuang menaikkan pesawat, tetapi komputer masih salah mendeteksi adanya gangguan, terus menekan hidung pesawat menggunakan sistem trim pesawat. Biasanya, trim menyesuaikan permukaan kendali pesawat untuk memastikannya terbang lurus dan rata.

"Mereka sepertinya tidak tahu trim itu bergerak turun. Mereka hanya memikirkan tentang kecepatan udara dan ketinggian. Itulah satu-satunya hal yang mereka bicarakan," kata sumber ketiga.

"Pilot JT610 tetap tenang selama sebagian besar penerbangan," tutur tiga sumber tersebut.

Menjelang akhir, kapten meminta petugas pertama untuk terbang sementara dia memeriksa manual untuk mencari solusi.

Sekitar satu menit sebelum pesawat menghilang dari radar, kapten kemudian meminta ATC untuk membersihkan lalu lintas lainnya di bawah 3.000 kaki dan meminta ketinggian 5.000 kaki. Permintaannya ini disetujui, menurut laporan awal tersebut.

Menurut sumber kedua, saat kapten itu berusaha untuk menemukan prosedur yang tepat di buku panduan, petugas pertama tidak dapat mengendalikan pesawat.

“Ini seperti ujian dimana ada 100 soal dan waktu habis baru menjawab 75. Jadi Anda panik. Ini adalah kondisi time-out," kata sumber ketiga.

Kapten kelahiran India itu pada akhirnya terdengar terdiam, sementara co-pilot asal Indonesia menyerukan "Allahu Akbar". Yang terjadi sesudahnya tragis. Pesawat itu menghantam perairan laut dan menewaskan semua orang yang di dalamnya.

Badan investigasi kecelakaan udara Prancis BEA mengatakan, perekam data penerbangan (flight data recorder) dalam kecelakaan pesawat di Ethiopia yang menewaskan 157 orang juga menunjukkan "kesamaan yang jelas" dengan Lion Air JT 610.

Baca Juga: Soal Pesawat Sriwijawa Air SJ-182, Bupati Kepulauan Seribu: Infonya Ada yang Jatuh di Pulau Laki

Sejak kecelakaan Lion Air, Boeing telah mengupayakan peningkatan perangkat lunak untuk mengubah seberapa banyak otoritas yang diberikan ke Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver, atau MCAS, sistem anti-stall baru yang dikembangkan untuk 737 MAX.(Julkifli Sinuhaji/Pikiran Rakyat)

Editor: Ianatul Ainiyah

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler