Kumpulan Contoh Puisi HUT RI ke-77, Inspirasi dari Tokoh Nasional dalam Meraih Kemerdekaan Indonesia

15 Agustus 2022, 08:23 WIB
Ilustrasi: Kumpulan contoh puisi HUT RI ke-77 inspirasi tokoh sastra nasional Indonesia. /Pixabay/Nile

 

MALANG TERKINI – Perayaan HUT RI ke-77 selalu menarik untuk disambut dengan puisi. Indonesia memiliki banyak tokoh sastra yang hidup saat masa perjuangan kemerdekaan. 

Mereka kemudian menuliskan rasa dan pikiran tersebut dalam karya puisi, yang bercerita tentang perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.

Kini saat merayakan HUT RI ke-77, ketika kembali membaca puisi-puisi perjuangan kemerdekaan tersebut, maka akan terasa bagaimana perasaan, fikiran, dan kejadian yang sedang mereka alami.

 Baca Juga: 5 Contoh Puisi Tema Hari Kemerdekaan, Cocok Digunakan Untuk Lomba Puisi Memperingati HUT RI KE-77

Perjuangan kemerdekaan tersebut mereka tulis dalam karya puisi yang abadi selamanya. Berikut Malang Terkini telah merangkum beberapa puisi terkenal dari tokoh sastra nasional Indonesia:

Prajurit Jaga Malam oleh Chairil Anwar

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
Hari Kemerdekaan oleh Sapardi Djoko Damono.
"Akhirnya tak terlawan olehku
tumpah di mataku, dimata sahabat-sahabatku
ke hati kita semua
bendera-bendera dan bendera-bendera
bendera kebangsaanku
aku menyerah kepada kebanggan lembut
tergenggam satu hal dan kukenal
tanah dimana ku berpijak bergerak
awan bertebaran saling memburu
angin meniupkan kehangatan bertanah air
semat getir yang menikam berkali
makin samar
mencapai puncak ke pecahnya bunga api
pecahnya kehidupan kegirangan
menjelang subuh aku sendiri
jauh dari tumpahan keriangan di lembah
memandangi tepian laut
tetapi aku menggenggam yang lebih berharga
dalam kelam kulihat wajah kebangsaanku
makin bercahaya makin bercahaya
dan fajar mulai kemerahan"
Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang oleh W S Rendra.
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku 

Baca Juga: Teks Sambutan Ketua RT atau RW Acara Tasyakuran HUT RI ke-77, Singkat dan Padat

Atas Kemerdekaan oleh Sapardi Djoko Damono

kita berkata: jadilah-dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut-di atasnya: langit dan badai tak henti-henti-di tepinya cakrawala terjerat juga akhirnya-kita, kemudian adalah sibuk
Mengusut rahasia angka-angka-sebelum Hari yang ketujuh tiba-sebelum kita ciptakan pula Firdaus-dari segenap mimpi kita-sementara seekor ular melilit pohon itu:-inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah

Merdeka atau Mati oleh Yamin

Darah di tanah tak bertuan menggenang-Ratusan nyawa melayang-Bergelimpangan di medan perang-Mengangkat panji kemenangan
Seorang pejuang berteriak lantang-Gagah berani memegang senjata lawan penjajah-Dua kata menjadi pilihan-Merdeka atau mati
Tubuh kekar dihujani peluru-Penuh lubang di sekujur tubuh-Darah bercucuran mereka tetap tegak berdiri-Sekali lagi lantangkan merdeka atau mati

Baca Juga: Resiko Download Stumble Guys Mod Apk Unlock All Item Unlimited Gems Lewat ModCombo

Hikmah Kemerdekaan oleh Yamin

Tujuh puluh empat tahun silam
Ku belum dipertemukan
Raga belum terwujud
Nyawa belum bersemayam
Tapi tampak sinyal kehidupan
Di usiaku yang separuh baya ini
Aku hanya bisa menikmatimu
Belum bisa memberi warna
Teruntuk negeri ini
Pagi merayap siang
Tepat pukul sepuluh detik-detikmu diperdengarkan
Pekik merdeka menggema mengangkasa ke penjuru negeri
Dengan rasa haru ke sambut pekikmu

Baca Juga: Profil dan Biodata Patra M Zen, Pengacara Istri Ferdy Sambo: Pendidikan, Karir, Pengalaman

Karawang Bekasi oleh Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan,
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Baca Juga: Apa Arti Local Pride? Ini Maknanya dalam Bahasa Indonesia Istilah yang Viral Setelah Piala AFF

Gugur oleh W S Rendra

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belum lagi selusin tindak
maut pun menghadangnya
Ketika anaknya memegang tangannya,
ia berkata:
Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata:
Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
"Alangkah gemburnya tanah di sini!"
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya.

Sekian kumpulan contoh puisi dari tokoh sastra nasional Indonesia.***

Editor: Anisa Alfi Nur Fadilah

Tags

Terkini

Terpopuler