Profesor Kishore menyoroti bagaimana Jokowi telah menjembatani kesenjangan politik Indonesia. Ia menulis bahwa dalam perbincangannya beberapa waktu lalu, Jokowi sempat membahas tentang pilar ketiga ideologi Indonesia, Pancasila, menekankan persatuan dalam keragaman.
Pembangunan koalisinya yang terampil mengarah pada pengesahan tahun lalu yang disebut Omnibus Law, yang bertujuan untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja baru.
Jokowi bisa saja hanyut ke dalam dunia perusahaan miliarder, seperti yang dilakukan banyak politisi. Tetapi orang miskin tetap menjadi fokusnya, dan tidak mengherankan bahwa pemerintahannya telah memberikan banyak program untuk membantu mereka.
Profesor Kishore mengamati usaha pemerintah melakukan redistribusi tanah pada masyarakat kurang mampu, memperkenalkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Program Keluarga Harapan.
Sebelum Jokowi menjabat pada tahun 2014, koefisien Gini ketimpangan kekayaan Indonesia terus meningkat, dari 28,6 pada tahun 2000 menjadi 40 pada tahun 2013. Koefisien kemudian menurun menjadi 38,2. Itu adalah penurunan signifikan pertama dalam 15 tahun.
Bukan hanya itu, menurut standar internasional, hutang publik Indonesia terbilang rendah, yakni kurang dari 40% dari PDB.
Berkenaan dengan latar belakang Jokowi sebagai mantan eksportir furnitur, Profesor Kishore berpendapat Jokowi memahami betul tantangan yang dihadapi usaha kecil.
Jokowi juga berkomitmen untuk pembangunan infrastruktur. Selama masa kepresidenannya, pemerintah telah mengembangkan rencana untuk membangun jalan raya di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua.