Baca Juga: Rektor UII Sarankan Rubah Pesantren Jadi Modern, Gus Baha Tak Sepakat Karena Alasan Ini
Di masa Al Hajjaj Ibn Yusuf seorang gubernur irak di masa kepemimpinan Abdul Malik Ibnu Marwan (65-86 H). Al Hajjaj memerintahkan dua murid Abu Al Aswad Ad du’ali, yaitu Nasr Ibn Ashim dan Yahya Ibn Ya’mur Al Udwan Al Laitsi untuk menciptakan titik-titik (berupa diagonal) pada Al Qur’an seprti huruf ba, ta, tsa dan seterusnya.
keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pengucapan hurufyang memiliki bentuk yang sama).
Muncullah metode al-ihmaldan al-i’jam. Al-ihmaladalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jamadalah memberikan titik pada huruf.
Selanjutnya sistem penitikan ini terus disempurnakan oleh seorang ahli Bahasa pada waktu itu Bernama Al-Khalil Ibn Ahmad Al Farahidi beliau masih berpegang teguh pada sistem penitikan pada ahli Bahasa generasi sebelumnya.
Namun, Al farahidi membuat gebrakan dengan memberikan warna titik yang sama pada huruf yang bentuknya sama seperi huruf ba, ta, dan tsa. (Sirojuddin, 1983 dalam penelitian Batubara, 2018 yang berjudul “Proses Pemberian Titik (Nuqthah) Pada Huruf-huruf Al Qur’an Oleh Abu Al Aswad Ad du’ali” )
Berdasar dari penelitian Muhammad dan Marzuqi, 2020 yang berjudul “Analisis Sejarah Jam’u Al-Qur’an” diketahui tanda titik pada huruf hijaiyah sangat berguna untuk membedakan antara satu huruf dengan huruf lain a misalnya Seperti pada huruf ب (ba), ت (ta), ث (tsa).
Pada penulisan mushaf Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah seperti telah disebutkan untukmengakomodir ragam qira’at yang ada.
Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.