Sikap Umat Islam Mengenai Konflik yang Terjadi pada Shahabat Nabi

- 9 Juli 2023, 01:56 WIB
Ilustrasi: Sikap ahlussunah terhadap konflik yang terjadi pada para sahabat Nabi Muhammad SAW
Ilustrasi: Sikap ahlussunah terhadap konflik yang terjadi pada para sahabat Nabi Muhammad SAW /Pixabay/jarmoluk/

MALANG TERKINI - Dalam kehidupan sosial, konflik sering kali tak dapat dihindari karena perbedaan pendapat dan sudut pandang yang ada.

Ketika konflik terjadi di kalangan individu terhormat dan memiliki kredibilitas yang tak diragukan lagi, seperti para shahabat Nabi Muhammad ﷺ, bagaimana seharusnya sikap kita?

Makna dan Keagungan Para Shahabat

Secara bahasa, shahabat merujuk kepada seseorang yang telah lama berkumpul, mengikuti, dan belajar kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Namun, menurut penjelasan Syekh Abdis-Salam, shahabat sejati adalah orang yang bertemu dengan Nabi Muhammad ﷺ dalam keadaan Islam dan meninggal dalam keadaan Islam, meskipun mereka mungkin pernah melakukan kesalahan sebelumnya.

Baca Juga: 7 Tips Puasa Sehat ala Nabi Muhammad SAW di Bulan Ramadhan 2023, Diakui Ahli Kesehatan

Al-Qur'an dalam surat at-Taubah ayat 117 juga menyebutkan keagungan para shahabat:

"Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar yang mengikutinya di saat kesulitan, setelah hati sebagian dari mereka hampir berpaling. Kemudian Allah menerima taubat mereka. Sungguh, Allah Maha Penyayang, Maha Pengasih kepada mereka."

Banyak pula hadis yang menjelaskan keutamaan dan keagungan para shahabat Nabi Muhammad ﷺ, seperti hadis yang menyatakan:

"Janganlah kalian mencela para shahabatku! Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menafkahkan emas sebanyak gunung Uhud, hal itu tidak akan menyamai seperseribu atau bahkan setengah dari apa yang mereka perbuat." (HR Muslim)

Baca Juga: Kisah Tamim Ad-Dari, Sahabat dan Penasihat Rasulullah Perihal Ibadah Umum yang Pernah Bertemu Dajjal

Sikap Ahlussunah terhadap Konflik Para Shahabat

Imam Ibrahim al-Laqqani dalam kitab 'Umdatul-Murid dan Imam Ibrahim al-Bajuri dalam kitab Tuhfatul-Murid menjelaskan bahwa sikap yang seharusnya diambil adalah mencari penjelasan dan memahami perselisihan di antara para shahabat jika memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Sebagai contoh, kita dapat mencoba memaknai konflik antara Sayidina Muawiyah dan Sayidina Ali sebagai perbedaan pendapat dalam menerapkan ijtihad masing-masing.

Namun, jika kita tidak memiliki kemampuan untuk memahami dan menafsirkan situasi tersebut, sebaiknya kita tetap diam dan tidak berkomentar.

Baca Juga: Kisah Abu Bakar As-Siddiq, Sahabat Nabi yang Membenarkan Peristiwa Isra Miraj

Orang awam tidak memiliki pemahaman yang memadai dan risiko menghakimi tanpa pemahaman yang cukup dapat membawa mereka masuk dalam kategori orang yang mencela para shahabat. (Rujuk 'Umdatul-Murid/III/1135, Tuhfatul-Murid Syarh Jauharah al-Tauhid/165)

Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menegaskan bahwa Ahlusunnah sepakat bahwa kita wajib untuk menghindari mencela atau menyalahkan salah satu shahabat, terlepas dari sisi mana yang benar dalam konflik mereka.

Hal ini berlaku terutama ketika kita membahas peristiwa-peristiwa perang, di mana para shahabat terlibat dalam perbedaan pendapat yang didasarkan pada ijtihad mereka.

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dari Perkataan Para Sahabat dan Ulama, Referensi Buat Dai

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa Allah SWT menekankan pentingnya ridha (penerimaan) terhadap golongan pertama yang memeluk Islam, yaitu Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Oleh karena itu, sangatlah disayangkan bagi siapa pun yang membenci dan mencela para sahabat atau beberapa di antara mereka. Wallahu a'lam.***

Editor: Ianatul Ainiyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah