Apa Itu Predatory Pricing? Menteri Koperasi dan UKM: Jual Rugi Sebabkan Industri Tekstil Indonesia Terpuruk

- 25 September 2023, 08:43 WIB
Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki meninjau pabrik tenun PT Santosa Kurnia Jaya di Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (24/9/2023). ANTARA/Ricky Prayoga/aa.
Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki meninjau pabrik tenun PT Santosa Kurnia Jaya di Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (24/9/2023). ANTARA/Ricky Prayoga/aa. /

MALANG TERKINI - Sektor industri di Indonesia belakangan ini sedang mengalami pasang surut yang tidak menentu. Khususnya sejak terjadinya pandemi covid-19.

Banyak faktor yang mempengaruhi naik turunnya eksistensi sektor industri Indonesia khususnya industri tekstil. Belakangan ini industri tekstil dalam negeri diketahui tengah terpuruk imbas dari terjadinya perdagangan bebas yang semakin tidak bisa dikontrol.

Bahkan kini di pasaran, sektor tekstil dalam negeri sendiri diketahui mengalami predatory pricing. Lantas apakah itu predatory pricing, dan seberapa besar dampaknya bagi industri tekstil Indonesia yang kini tengah berusaha kembali menggeliat.

Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki menduga adanya praktik predatory pricing atau jual rugi, terutama komoditas barang-barang dari luar negeri yang menyebabkan terpukulnya industri tekstil dalam negeri.

Teten menjelaskan barang-barang dari luar negeri tersebut masuk dan membanjiri Indonesia dengan harga di bawah produksi dalam negeri yang dinilai tidak wajar, kemudian dijual secara daring, hingga membuat produk dalam negeri tidak bisa bersaing.

"Saya mendapatkan banyak sekali masukan dari diskusi di sini terkait banyaknya barang impor yang masuk, utamanya dari China dengan harga yang sangat murah. Nah harga yang murah ini bisa jadi kami menyebutkan predatory pricing dijual di online kemudian memukul pedagang offline dan efeknya yang terpukul sektor produksi juga," kata Teten di Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu.

Teten menegaskan bahwa kalah saingnya barang produksi dalam negeri, bukan soal kualitas, namun memang terkait harga di mana barang-barang impor tersebut memiliki Harga Pokok Penjualan (HPP) yang tidak sesuai.

"Jadi HPP-nya itu tidak masuk, akhirnya gak bisa bersaing. Nah saya dapat info itu, dan memang banyak indikasi masuknya barang-barang impor pakaian jadi maupun tekstil seperti itu. Yang kita mau lihat di mana problemnya, kenapa kita dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," ucapnya.

Kondisi terpukulnya industri tekstil diungkapkan oleh para pelaku usaha, seperti Dudi Gumilar yang memiliki pabrik tenun di Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, yang mengaku kesulitan menjual produknya karena membanjirnya barang luar negeri.

"Stok kami menumpuk sampai sekarang masih ada 1,5 juta meter ya, produksi masih berjalan, enggak tau sampai kapan kami masih bisa produksi," ucap Dudi yang merupakan Wakil Ketua Komunitas Tekstil Majalaya.

Hal senada diungkapkan Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman yang mengatakan bahwa dampak dari membanjirnya barang impor ini, selain memukul pedagang di pasaran, tapi juga produsen karena kurangnya permintaan pasar domestik, bahkan disebutkannya sudah banyak pelaku usaha yang melakukan penutupan.

"Di Jabar ini sudah banyak sekali, dampaknya mungkin timbul pengangguran seiring beberapa bulan ini merosot. Kami tidak akan bisa bertahan lama lagi, karena impor yang membanjiri, dengan adanya tinjauan ini, semoga pak Menteri Teten bisa mendapatkan fakta rilnya seperti apa," tuturnya.

Teten mengaku, berbagai masukan dan fakta dari kegiatan tinjauannya ini akan menjadi bahasan di tingkat pusat, seperti peningkatan tindakan pengamanan (safeguard) agar barang impor tidak mudah dan murah masuk ke Indonesia, sampai perbaikan regulasi yang ada.

"Maka ini yang akan saya bicarakan, memang ini sudah dikoordinasi dengan pak Mensesneg, saya akan melaporkan karena kewenangan ini bukan di saya tapi di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan. Termasuk soal harga pokok khusus, seperti China itu memang barang masuk yang dari luar itu gak boleh lebih rendah dari HPP, nah itu kalau kita terapkan maka ini akan melindungi industri dalam negeri," ucap Teten menambahkan. ***

Editor: Ianatul Ainiyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x