“Saat SMA saya tertarik untuk mempelajari tentang bioteknologi dalam bidang manipulasi genetika, dimana bisa mengganti gen dari hewan atau tumbuhan,” lanjut Carina.
Menurut Carina, di Indonesia belum banyak jurusan tentang bioteknologi pada waktu itu, sehingga dia memutuskan untuk kuliah di luar negeri.
Selesai program S1, dia melanjutkan pendidikan khususnya dengan mengambil master di Australia. Saat itu dia ditawari internship oleh perusahaan Australia.
Setelah itu dia mendapat beasiswa untuk gelar PhD nya bidang bioteknologi di Royal Melbourne Institute of Technology sebagai seorang saintis, kemudian dia mendapat kesempatan magang di perusahaan tersebut selama 6-7 tahun.
“Karena saya memiliki latar belakang industri, saat melamar ke Oxford postdoc, mereka senang dengan latar belakang industri saya,” jelas Carina.
Baca Juga: German, Prancis dan Negara Eropa Lainnya Melanjutkan Penggunaan Vaksin AstraZeneca
Lebih jauh Carina menjelaskan bahwa pengalamannya bisa dijadikan inspirasi utamanya bagi perempuan di seluruh dunia bahwa kalau ada kemauan, pasti ada jalan.
Desra menanyakan apa sebaiknya saran untuk orang yang tidak mau divaksin dan tidak percaya dengan vaksin, Carina mengatakan bahwa wajar dan manusiawi orang tidak percaya vaksin, karena proses pembuatannya yang relatif singkat.
“Pada umumnya pembuatan dan penelitian vaksin memang memerlukan waktu sampai 10 tahun. Tapi dalam proses penelitian AstraZeneca ini karena sifatnya emergency, jadi kami melakukan penelitian secara paralel untuk mempercepat prosesnya,” terang Carina.