Apa Itu Justice Collaborator? Ini Tujuan, Keuntungan, Syarat hingga Peran

- 7 Agustus 2022, 21:50 WIB
Ilustrasi: Peran Justice Collaborator, Keuntungan, Definisi, dan Syarat yang Harus Dipenuhi
Ilustrasi: Peran Justice Collaborator, Keuntungan, Definisi, dan Syarat yang Harus Dipenuhi /PIXABAY/@VBlock

MALANG TERKINI – Apa itu Justice Collaborator? Pengertian dari Justice Collaborator adalah status yang diberikan kepada seorang tersangka atau terdakwa bahkan terpidana yang dianggap memiliki kemauan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum.

Adapun mengenai tujuan menjadi Justice Collaborator harus memiliki keinginan untuk bekerja sama dengan aparat atas keinginan sendiri, bukan dipaksakan oleh pihak lain.

Apabila seseorang memilih menjadi justice collaborator dan dianggap memenuhi syarat, maka hak-haknya sebagai tersangka tidak akan dirugikan.

Baca Juga: Apa Itu Justice Collaborator? Apakah Pelaku Utama dalam Suatu Tindak Pidana?

Seorang Justice Collaborator (JC) malah akan memperoleh keuntungan berupa perlindungan, treatment, dan reward serta memperoleh hak yang tidak didapat oleh pelaku lainnya yang tidak berstatus sebagai JC.

Dengan demikian, aparat penegak hukum mendapatkan keuntungan dengan kerja sama tersebut, yaitu terbongkarnya aksi kejahatan serius.

Selain itu, pilihan seorang tersangka menjadi JC dianggap memiliki itikad baik untuk memulihkan kerugian negara.

Istilah justice collaborator ini dapat ditemukan pada SEMA 4/2011, yang penyusunannya terinspirasi dari Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi.

Baca Juga: Imbas Kasus Brigadir J, Karir dan Jabatan Sejumlah Petinggi Polri Runtuh, Ferdy Sambo hingga Benny Ali

Dalam Angka 9 SEMA 4/2011 disebutkan bahwa pedoman untuk menentukan seseorang sebagai justice collaborator adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam SEMA 4/2011.

Tindak pidana tersebut tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, dan tindak pidana lainnya yang terorganisir dan menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat.

Adapun syarat agar seorang pelaku tindak pidana tertentu dapat ditentukan sebagai justice collaborator adalah:

1. Mengakui kejahatan yang dilakukannya
2. Bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut
3. Memberikan keterangan saksi dalam proses pengadilan.

Dikutip melalui laman website Business Law Binus pada 2018, Justice collaborator awalnya diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an.

Baca Juga: 10 Peristiwa Bersejarah pada Hari Asyura 10 Muharram: Berlabuhnya Bahtera Nabi Nuh hingga Taubatnya Nabi Adam

Penggunaannya dipergunakan untuk mengetahui alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut.

Sehingga bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum.

Kemudian terminologi justice collaborator berkembang di beberapa negara, seperti di Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989).

Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption – UNCAC ) dilakukan untuk menekan angka korupsi secara global.

Baca Juga: Amalan dan Doa Malam Asyura Tanggal 10 Muharram, Lengkap dengan Keutamaannya

Diharapkan dengan adanya kerjasama internasional tersebut untuk menghapuskan korupsi di dunia. Sehingga, nilai-nilai pemberantasan korupsi segera disepakati oleh banyak negara.

Konvensi UNCAC telah disahkan di Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

Adapun peran kunci yang dimiliki oleh justice collaborator antara lain:

1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara
2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum
3. Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.

Dalam hukum Indonesia, Justice collaborator diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Baca Juga: Mahfud MD Buka Suara Soal CCTV yang Ada di Rumah Irjen Ferdy Sambo

Namun, sumber hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan yang proporsional, sehingga keberadaan justice collaborator bisa direspon secara berbeda oleh penegak hukum.

Contohnya, pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Lahirnya SEMA di atas didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam tindak pidana tertentu yang serius seperti teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang.

Adapun tindakan pidana tersebut telah menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat, sehingga perlu ada perlakuan khusus kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui atau menemukan suatu tindak pidana yang membantu penegak hukum dalam mengungkapnya.

Sehingga, untuk mengatasi tindak pidana tersebut, para pihak yang terlibat termasuk Justice Collaborator perlu mendapatkan perlindungan hukum dan perlakuan khusus.***

Editor: Anisa Alfi Nur Fadilah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x