Menelaah Poltik Demokratis Demi Masyarakat Sejahtera dan Poros Politik Identitas

- 11 September 2023, 12:15 WIB
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo memberikan pemaparan saat menjadi pembicara dalam diskusi dengan tema "Peran Pers Dalam Menyukseskan Pemilu yang Demokratis" di Bandung, Jawa Barat, Senin (20/3/2019)
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo memberikan pemaparan saat menjadi pembicara dalam diskusi dengan tema "Peran Pers Dalam Menyukseskan Pemilu yang Demokratis" di Bandung, Jawa Barat, Senin (20/3/2019) /ANTARA/

Satu dekade setelah Soedjatmoko berpulang (meninggal pada 1989), terbit era reformasi 1998 dan jatuhnya rezim Orde Baru. Namun sesuatu yang tidak disangka-sangka terjadi, ketika era reformasi juga ditandai dengan menguatnya pengaruh politik agama konservatif, seperti FPI dan HTI. Mungkinkah ini sebuah anomali dari reformasi bangsa ini?

Sebagaimana teori Soedjatmoko, ada faktor kesenjangan sosial, yang menjadikan menguatnya pengaruh kelompok konservatif seperti itu.

Anomali itu terjadi ketika apa yang kita saksikan hari ini dihubungkan dengan atmosfer periode demokrasi parlementer (1950-1959).

Ada gambaran karikatural masa-masa itu, setelah debat panas di forum Konstituante (setara DPR RI), para tokoh parpol bisa secara damai ngopi bareng di kafetaria Gedung Konstituante (Bandung), seperti pengalaman M Natsir (Masyumi) dan Isa Anshary (Persis), yang biasa ngopi bareng bersama Ali Sastroamijoyo (PNI), Nyai Wahid Hasyim (Ibunda Gus Dur), dan L Sitorus (PSI).

Politik identitas terbukti memecah-belah masyarakat, yang bisa dicegah dengan membangun keadaban politik, bagaimana politisi bisa saling berdiskusi dalam bahasa santun dan saling menghormati.

Bahasa adalah ekspresi hati dan pikiran, bila bahasanya saja kacau, kelak akan menjerumuskan pelakunya pada tindakan kacau pula, sekadar adu keras bicara. Begitulah yang biasa disaksikan pada rata-rata politisi kiwari.

Menjadi tugas politisi dan parpol untuk menihilkan politik identitas dalam Pemilu 2024, dan pemilu berikutnya.

Para politisi bisa belajar dari figur sejarah masa lalu, yang bersedia turun ke bawah (turba) bila ada problem di masyarakat, bukan sebatas di komunitas konstituen. Selain untuk menyerap aspirasi rakyat, juga memberikan edukasi untuk menetralisasi pemanfaatan politik identitas.

Figur seperti dokter Radjiman (Ketua BPUPKI zaman Jepang) atau dokter Tjipto Mangunkusumo bisa dijadikan contoh, yang selalu siap turun langsung ke masyarakat ketika terjadi wabah pes, cacar, dan kolera di awal abad yang lalu.

Dengan terjun langsung ke masyarakat, para dokter tersebut bisa menyaksikan sendiri bagaimana ketimpangan sosial, kemiskinan, dan rendahnya kualitas kesehatan rakyat di bawah rezim kolonial.***

Halaman:

Editor: Ianatul Ainiyah

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x