Melawan Stigma terhadap Penderita Gangguan Mental

- 23 Oktober 2021, 17:32 WIB
Stigma dan stereotip negatif yang berpengaruh terhadap kehidupan penderita gangguan mental harus dihentikan
Stigma dan stereotip negatif yang berpengaruh terhadap kehidupan penderita gangguan mental harus dihentikan /Pixabay/artbykleiton/

MALANG TERKINI - Banyak orang yang berjuang untuk kembali pulih dari gangguan mental tertentu. Sayangnya, stigma yang melekat pada penderita gangguan mental mempersulit usaha mereka.

Stigmatisasi gangguan mental dapat mempengaruhi kehidupan penderita pada berbagai macam aspek. 

Hal ini tampaknya terjadi karena tiga hal, yaitu stereotip, prasangka, dan diskriminasi.

Baca Juga: Inilah 6 Artis Indonesia yang Ternyata Mengidap Gangguan Mental

Stereotip adalah jalan pintas untuk mengkategorikan individu dalam golongan tertentu. Ketika stereotip diintegrasikan ke dalam cara kita berpikir, ini akan berpengaruh pada cara kita menghakimi seseorang.

Itulah yang disebut sebagai prasangka dan diskriminasi muncul dari dua proses ini. 

Diskriminasi umumnya diekspresikan melalui perilaku, menolak atau mengucilkan mereka yang tampak tidak stabil secara mental. 

Sementara itu, stigma negatif memiliki dampak yang pasti pada individu yang berjuang dengan gangguan mental mereka.

Apa yang mempengaruhi terbentuknya stigma?

Asumsi yang salah, tidak berdasar, dan serampangan adalah hal yang mempengaruhi terbentuknya stigma.

Kesalahpahaman yang umum adalah bahwa orang yang menderita gangguan mental harus ditakuti atau dihindari karena sifatnya yang berpotensi menimbulkan bahaya.

Pada kenyataannya, individu yang hidup dengan gangguan mental justru dua kali lebih mungkin menjadi korban kekerasan daripada menjadi pelaku kekerasan.

Baca Juga: Waspada! Inilah 5 Ciri Kesehatan Mental yang Sedang Menurun

Stigmatisasi dan kesalahpahaman sering kali berasal dari kurangnya pengetahuan dan informasi yang salah.

Dampak media terhadap gangguan mental

Kesalahpahaman tentang gangguan mental dan mengapa begitu banyak orang masih meyakininya, salah satunya berasal dari media.

Seringkali, representasi orang dengan gangguan mental yang ada dalam benak masyarakat berasal dari penggambaran dalam film atau televisi yang sering membesar-besarkan stereotip dan mencitrakan atribut negatif pada tokoh penderita gangguan mental demi hiburan.

Pada film Split (2016), misalnya, menggambarkan karakter yang berjuang hidup dengan gangguan identitas disosiatif.

Para kritikus menilai film ini tidak hanya menjelek-jelekkan individu dengan kepribadian ganda, tetapi juga melecehkan kepribadian tokoh dalam film.

Demikian pula artikel berita dan liputan yang menggambarkan gangguan mental secara dramatis untuk menarik perhatian publik. Contohnya pada 2007, kasus Britney Spears dipublikasikan secara ekstrem dan hal ini berkontribusi pada stigma publik tentang gangguan mental.

Karena media merupakan sumber utama informasi tentang penyakit mental, penggambaran yang salah atau tidak akurat menjadi model yang diintegrasikan oleh masyarakat saat menilai fenomena gangguan mental di sekitar mereka. 

Sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa unggahan di media sosial dan laporan berita negatif juga mempengaruhi stigma dalam masyarakat. 

Sebaliknya, media sebenarnya dapat mengurangi stigma negatif dengan membagikan laporan dan postingan yang benar mengenai kelainan mental.

Dalam hal ini, media memiliki tanggung jawab dalam cara merepresentasikan gangguan mental sebagai cara untuk meningkatkan kesadaran dan memperbaiki kesalahpahaman.

Baca Juga: Apakah Diet Pada Ibu Hamil Dapat Mempengaruhi Kesehatan Mental Anak? Begini Jawaban Psikolog

Bagaimana memulai menghilangkan stigma gangguan mental?

Meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan penderita gangguan mental sebagai relawan dapat membantu mengurangi stigma negatif yang selama ini diyakini dengan meningkatkan empati.

Masyarakat juga harus bisa mempertimbangkan kembali bagaimana cara menyikapi hal-hal yang berkenaan dengan gangguan mental dalam bahasa sehari-hari. 

Penggunaan istilah seperti gila, psikopat, idiot, atau terbelakang dalam percakapan bisa melanggengkan stigma negatif pada penderita gangguan mental. 

Istilah-istilah ini tidak hanya berkontribusi pada stigma, tetapi juga meremehkan penderitaan orang yang hidup dengan gangguan mental.

Gangguan mental jarang muncul dengan cara yang sama persis antara satu orang dengan orang lain.

Baca Juga: 6 Link Twibbon Hari Kesehatan Mental Sedunia Paling Keren, Jadi Momen Tingkatkan Fasilitas Kesehatan Jiwa

Sehingga, bersikap kritis, mencerdaskan diri sendiri, memperkaya pengetahuan, dan menerapkan kesadaran sosial bisa membantu dalam mendekonstruksi pemahaman yang salah mengenai gangguan mental. 

Bahkan, tenaga profesional di lapangan perlu tetap mendapat informasi tentang perawatan berbasis bukti yang diperbarui, sementara para peneliti bekerja untuk mengkomunikasikan hasil penelitian yang relevan kepada publik dengan berbagai cara yang dapat diakses.***

Editor: Lazuardi Ansori


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah